Kamis, 18 Februari 2010

Bukan Tujuan Hidup

Waktu kecil dulu, kira-kira apa yang ada dibenak Anda ketika ada seseorang yang menanyakan “klo sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”. Jika tidak salah mengutip, saya akan memberikan beberapa pilihan yang akan disebut para anak kecil (dilihat secara umur, bukan dari besar atau kecil tubuh).

1. Jadi dokter
2. Jadi polisi
3. Jadi insinyur
4. Jadi arsitek
5. Jadi pilot
6. Jadi kapiten (inget lagu “aku…seorang kapiten….mempunyai pedang panjang…”)
7. Jadi guru
8. de-el-el (nomor urut ini tidak bisa dijadikan tingkat prioritas dari nomor yang satu atas nomor yang lainnya)

Yah, begitulah kira-kira, walaupun di kehidupan nyata masih banyak sekali profesi, jabatan, posisi yang belum tersebut (dan yang tidak disebut jangan marah!!!). Sedangkan PNS, apakah pernah Anda pernah mendengar seorang anak yang (menurut saya, secara demografis, anak kecil yang masih layak untuk ditanyakan adalah sekitar umur 5-13 tahun, selebihnya sudah lebih pintar – atau bahkan terkontaminasi) jika ditanya “Nak, klo sudah besar nanti, cita-cita kamu mau jadi apa?” akan menjawab “Aku mau jadi PNS aja, ah, Bu/Pak/Kak/Bang/Mas/Mbak/A’/Teh/Uda/Uni…(yang gak disebut jangan marah)”

Sekali lagi, apakah Anda pernah mendengar lontaran jawaban yang menyebut kata PNS dari “si kecil”? Jika memang pernah (tentunya bukan karena Anda terlebih dahulu memberitahukan kata itu, dan harus murni dari kepolosan “si kecil”), tolong di rekam dan mohon kesediaanya untuk dikirimkan ke saya. Terima kasih.

Menurut saya, profesi apapun itu, adalah mulia – baik dimata saya, pun insya Allah dimata manusia yang lain, dan mudah-mudah di mata Sang Pencipta, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semuanya mulia, selama hal itu mendatangkan maslahat bagi sesama dan seluruh kehidupan. Jika boleh mengutip sebuah pepatah “apa yang Kau tanam, itulah yang kan Kau petik”. Kebaikan dibalas dengan kebaikan (bisa jadi kebaikan tersebut tidak kita rasakan karena didatangkan melalui media yang sangat unik dan tidak pernah terlintas atau sekalipun terpikirkan oleh kita, bisa langsung, esok, atau di “hari yang lain”), dan kejahatan dibalas dengan kejahatan – sekarang ataupun “nanti”.

Diumur saya yang tidak bisa lagi dibilang imut, sepertinya saya tidak punya kepentingan untuk mengingat keburukan, kejahatan, atau tindakan-tindakan negative yang telah dilakukan oleh sesama saya, baik sudah dijemput maut maupun yang masih segar bugar dan masih berencana untuk melebarkan criminal mapping-nya. Mungkin yang saya maksud adalah nama-nama para pelaku, sedangkan tingkah-laku dan tindak-tanduk mereka haruslah tetap diingat agar menjadi pembelajaran sebagai langkah mewaspadai wabah yang mungkin saja melanda di kemudian hari. Dan menurut hemat saya, otak manusia sebenarnya sudah pernah diisi oleh kata-kata bijak, kata-kata mutiara, kata-kata motivasi, de-el-el, yang berisi kebajikan dalam mengisi kehidupan dunia dan (bagi mereka yang percaya akan adanya hari pembalasan di kehidupan yang lain, termasuk saya) meraih kemenangan di kehidupan lain setelah ini. Bahkan, mungkin saja tempurung yang menjadi wadah kata-kata itu sudah tidak mampu menampung sehingga terbuang sia-sia.

Dan, bukannya tidak mungkin, essence dari kehidupan pun akan melarut luber dari tempurung itu, tanpa pernah menyentuh hati dan jiwa si pemilik tubuh. Bisa dibilang, kata-kata itu naik kereta executive express, hanya memiliki satu tujuan dan tidak menjadwalkan kedatangan untuk sekedar transit selama perjalanan, masuk telinga kanan langsung keluar telinga kiri (entahlah bagi mereka yang tunarungu, saya juga bingung bagaimana menggambarkan keadaan mereka dalam situasi ini, mudah-mudahan mereka lebih terjaga).

Mengenai profesi yang saya sebut sebelumnya (sebenernya bukan profesi, tapi lebih ke status keprofesian), kembali saya menyimak berita buruk yang di citrakan oleh beberapa oknum PNS di luar daerah, yang memalsukan sertifikat sebagai kelengkapan dokumen kenaikan pangkat. Yang jelas, sikap dan kelakuan para oknum telah membuat saya semakin apatis terhadap status pegawai tersebut.

Memang sih, saya tidak bisa menyamaratakan kelakuan negatif oknum kepada semua yang telah memiliki status tersebut. Banyak juga yang berprestasi dan memberikan loyalitas mereka kepada negeri tercinta, terutama kepada daerah yang mereka diami. Tapi, jika boleh mengutip kata pepatah: “setitik nila, rusak susu sebelanga” (benar ga redaksinya, saya agak ragu pake pepatah ini. Tolong benerin yak lo salah). Ibarat kata, klo mampir ke kios parfum, badan dan pakaian kita akan harum semerbak (at least for a while). apalagi klo sampe bertemen sama pemiliknya, bisa dapet kiriman parfum terus tiap bulan (ngarep!).

Di penghujung tahun 2009, saya ikutan test masuk CPNS untuk wilayah kabupaten saya. Ini juga cuma sekedar pengen tahu, dan coba-coba saja, dan juga karena kedua kakak saya juga ikut dan, dengan penuh semangat , menyemangati saya untuk ikut serta. Dan, saya pun ikut, tepatnya ikut-ikutan ikut.

Untuk melengkapi keperluan berkas, saya pun harus merelakan waktu saya menyambangi beberapa instansi pemerintah daerah. Setelah saya rinci, ada 5 (lima) kantor yang saya kunjungi: kantor desa, kantor kecamatan, puskes kecamatan, pemkab, dan polres.
Beberapa tahun yang lalu, ketika kantor saya mengirim saya ke salah satu perusahaan persero untuk suatu keperluan, image buruk langsung membekas dalam benak saya. Bagaimana tidak, kantor public yang dibiayai masyarakat umum (khususnya bagi mereka yang menjadi pekerja), menurut saya tidak layak untuk disebut kantor, apalagi diklaim sebagai kantor pemerintah. Tidak terawat, seperti bangunan tua yang habis terbakar.

Intinya: sangat tidak representative!

Kembali ke topic utama. Dari kunjungan ke kantor-kantor instansi tersebut, ada beberapa kantor yang menurut saya memerlukan intensive maintenance, terutama terhadap halaman muka. Betapa tidak, kita toh sebagai bangsa timur sering menilai buku dari halaman muka toh! Begitu juga dengan sebuah kediaman, jika kita bertandang ke suatu tempat dan menemukannya tidak terawat, apa yang langsung terbersit? Jujur saja, hati saya akan membatin: Yang punya jorok. Bukankah memelihara lebih baik dan lebih murah dibanding mengobati?

Ada hal lain yang ingin saya ceritakan. Dari kunjungan ke kantor-kantor instansi tersebut, hanya satu instansi yang tidak menyuguhkan pricelist. Itupun karena saya kenal dengan staf yang sedang melayani, entahlah kejadiaannya bagaimana jika yang bersangkutan tidak kenal dengan customer-nya. Dan yang saya cermati adalah: sikap para oknum pada saat menyuguhkan pricelist tersebut. (setahu saya, semua keperluan public sudah masuk dalam budget atau masuk dalam anggaran).

They looked like innocent. Bahkan, beberapa dari mereka, dengan tanpa malu, tersenyum atau bahkan tertawa sambil memberikan guyonan ketika hendak mengosongkan peti yang sudah penuh dengan uang. “uang administrasinya seikhlasnya ya Bu/Pak/Mas/Mbak/Dek”. Sambil menunggu giliran saya dipanggil saya juga memperhatikan, nilai terkecil yang masuk dalam peti adalah seribu perak, dan nilai terbesar 20ribu perak. Oiya, ada satu instansi yang melakukan 3 kali pemungutan: input, process, output. Ada yang menetapkan tariff, ada juga yang bersandar pada keikhlasan customer. Kaya mendadak mereka…

Saya yakin jumlah uang khusus yang masuk pada hari-hari tersebut sangatlah besar. Tapi saya tidak melihat adanya pencatatan uang yang masuk dari kegiatan ini. Bahkan ada salah satu oknum yang langsung mengantongi uang masuk ke dalam saku. Puh…
Saya hanya khawatir, kelakuan dan sikap negatif semacam ini menulari mereka yang masih punya rasa idealisme membangun masyarakat dan Negara. Katanya semuanya sudah dijamin pemerintah, lah kok masih juga membebani masyarakat?

Adalagi berita miris. Untuk test CPNS ini saya tidak lulus. Bagi saya itu bukan kabar buruk. Dan saya juga sudah tidak ada keinginan untuk ikut kembali. Dari pengumuman kelulusan, tersiar bahwa salah seorang kolega lulus dalam test tersebut. Yang disayangkan adalah, dibelakang kelulusannya masih menjuntai embel2 yang tidak mengenakkan hati, karena menjadi rahasia umum. Kelulusannya adalah karena hasil lobi keluarga ke salah seorang pejabat.

Bagi yang masih punya rasa hati, jagalah rasa itu. Kasihanilah mereka yang tidak punya apa-apa. Tidak punya rekanan untuk dilobi, tidak punya materi sebagai jaminan. Untuk hidup aja mereka susah. Mereka juga punya hak untuk mengabdi pada Negara, pantas atau tidak biarkan semua dibuktikan dengan prestasi.


Rumah, 3 Pebruari 2010